Screen Time, Dibatasi atau Melibatkan Diri?
Apa yang anak lakukan di dalam atau di luar screen time lebih penting dibandingkan berapa lama anak terpapar layar media. Ada masa ketika masyarakat cemas jika anak-anak membaca. Jika anak-anak membaca, bagaimana mereka bisa menyelesaikan PR dan membantu tugas di rumah?
Ketakutan bahwa waktu yang dihabiskan dengan media mengganti aktivitas anak lain yang “diterima” seringkali disebut displacement hypothesis. Salah satu ketakutan tersebut adalah screen time mengisi waktu yang seharusnya dihabiskan untuk aktivitas fisik.
Karena screen time biasanya tidak menuntut anak bergerak, banyak peneliti menyelidiki apakah screen time menggantikan waktu yang dibutuhkan anak untuk beraktivitas fisik. Namun, hubungan antara screen time dan aktivitas fisik bukan lah hubungan langsung.
Rendahnya tingkat screen time tidak selalu sama dengan tingginya tingkat aktivitas fisik. Dan ketika ada hubungan antara lebih banyak screen time dan kurangnya aktivitas fisik, biasanya merupakan hasil dari screen time harian yang berlebih.
WHO (World Health Organization) menyarankan anak di bawah umur dua tahun untuk menghindari screen time sama sekali. Untuk anak umur dua hingga lima tahun, WHO menyarankan orang tua untuk membatasi screen time satu jam per hari. Lalu, dengan saran untuk membatasi screen time ini kita perlu bertanya, apakah screen time merupakan hal yang buruk?
Apakah Screen Time Hal yang Buruk?
Sebuah penelitian dari Amerika pada tahun 2004 menyelidiki waktu rata-rata yang dihabiskan anak menonton televisi per hari ketika mereka berusia satu dan tiga, dan apakah hal tersebut mempengaruhi rentang perhatian mereka di kemudian hari.
Mereka menemukan bahwa menonton TV pada usia awal anak berhubungan dengan resiko yang lebih tinggi untuk memiliki masalah atensi ketika anak tersebut berusia tujuh tahun. Namun, penelitian tersebut tidak menguji tipe-tipe program yang anak tonton.
Tahun 2007, peneliti yang sama melihat efek dari konten yang ditonton anak-anak. Mereka menemukan hubungan antara menonton konten berisi kekerasan atau menghibur seperti Scooby Doo sebelum umur tiga tahun dan peningkatan resiko masalah atensi lima tahun kemudian. Namun, tidak ada hubungan sama sekali ketika menonton tayangan yang edukasional, seperti Sesame Street.
Jadi, konten berpengaruh, namun umur anak juga penting. Studi yang sama menunjukkan bahwa tipe konten di atas yang ditonton oleh anak umur empat dan lima tidak berpengaruh pada atensinya lima tahun setelahnya.
Studi di atas berubah sepanjang waktu. Namun, studi lainnya melihat kepada efek langsung dari konten media yang berbeda pada fungsi eksekutif anak – cara berpikir untuk menyelesaikan masalah dan bertahan pada tugas.
Studi-studi ini menemukan bahwa paparan terhadap konten edukasional tidak menghalangi berjalannya fungsi eksekutif anak. Namun, kemampuan ini terkuras pada anak berusia empat dan enam tahun yang baru saja menonton tayangan cepat dan fantastis yang bermain dengan batasan fisika dan kenyataan.
Bagaimana Jika Kamu Menggunakan Layar Bersama Anak?
Bertahun-tahun penelitian terhadap TV menunjukkan anak-anak di bawah umur tiga tahun belajar lebih baik dari interaksi langsung dibandingkan dengan sumber dua dimensi. Jadi, anak-anak muda ini hanya mendapat sedikit keuntungan dari layar jika tidak ditemani oleh orang tua atau teman sebaya.
Acara televisi yang dimaksudkan untuk orang dewasa, meskipun hanya dibiarkan menyala, mengganggu kualitas bermain anak dan interaksi anak-orang tua yang sangat penting untuk perkembangan awal bahasa dan sosial anak.
Efek merugikan ini diakibatkan oleh pembatasan baik frekuensi dan kualitas interaksi antara anak dan orang tua. Ketika TV dibiarkan menyala, orang tua kurang responsif dan kurang memperhatikan anak mereka.
Selain TV, gadget yang dimiliki oleh orang tua juga bisa berefek buruk bagi interaksi mereka dengan anak-anak. Penggunaan smartphone bisa menyebabkan orang tua kurang responsif dan kurang memperhatikan anak mereka.
Semua hal ini penting untuk diperhatikan dan dipikirkan, terutama ketika tahun-tahun awal saat interaksi langsung berkontribusi pada kemampuan berbahasa dan sosial.
Lalu, bagaimana jika orang tua menggunakan gadget bersama anak?
Sebuah studi pada tahun 2014 mengemukakan, komprehensi cerita dan interaksi anak-orang tua tidak berbeda secara signifikan antara buku konvensional dan buku elektronik. Namun, kualitas bermain dan interaksi anak-orang tua berkurang ketika menggunakan mainan elektronik dibandingkan mainan tradisional.
Pentingnya Peran Orang Tua
Sebuah studi membandingkan bagaimana anak berusia dua dan tiga tahun belajar menyelesaikan puzzle. Sebagian anak belajar menyusun puzzle dari “demonstrasi bayangan” – artinya, di bagian awal potongan puzzle bergerak sendiri pada tablet untuk menunjukkan caranya. Banyak aplikasi untuk anak-anak memiliki elemen demonstrasi bayangan ini: Potongan bergerak sendiri atau sebuah objek menggerakkannya.
Anak-anak lainnya ditemani oleh seseorang yang menggerakkan potongan puzzle pada tablet.
Setelah melihat demonstrasi, kedua grup anak-anak diminta untuk menyelesaikan puzzle – baik pada tablet touchscreen atau berbentuk fisik – yang identic dengan apa yang sudah mereka lihat.
Anak-anak berumur dua dan tiga tahun yang melihat demonstrasi bayangan kesulitan untuk menyelesaikan tugasnya – tapi bisa setelah mereka melihat tangan manusia. Para peneliti menyimpulkan bahwa memiliki pemandu manusia – seringkali disebut sebagai social scaffolding – membantu anak-anak ini belajar.
Penelitian ini menyimpulkan, kehadiran orang tua – social scaffolding yang lebih banyak – meningkatkan kemampuan anak untuk memindahkan pengetahuan dari tablet ke objek nyata. Dalam dunia yang ideal, lebih baik ada joint media engagement atau keterlibatan media bersama – yaitu mempunyai orang tua atau guru atau kakak atau teman sebaya terlibat dalam penggunaan gadget bersama anak-anak, berinteraksi, mengajarkan, dan memperlihatkan hal baru satu sama lain.
Memiliki orang lain yang hadir dalam interaksi pada touchscreen bisa menguntungkan. Orang tua atau guru bisa mempertimbangkan apa yang anak ketahui dan membangun dari sana – sesuatu yang terlalu kompleks untuk dilakukan aplikasi. Jadi, daripada anak berinteraksi dengan gadget sendirian, orang tua bisa memberikan dukungan, untuk kemudian mendorong pembelajaran atau membantu anak menghubungkan apa yang mereka pelajari dari gadget ke dunia nyata.
Contoh kecilnya, ketika anak melihat kucing di sebuah aplikasi atau video YouTube dan keluarga tersebut memelihara kucing, orang tua bisa berkata, “Oh kucing itu seperti peliharaan kita”. Jadi, joint media engagement ini bukan hal yang perlu dilakukan 24/7 atau memandu setiap bagian dari pengalaman anak, tapi menyediakan informasi pada titik kunci. “Ini kucing. Ini seperti kucing yang ada di dunia nyata.”
Jadi, Screen Time Seperti Apa yang Baik?
Untuk memiliki pengalaman media layar yang sehat, positif, dan berkualitas, orang tua bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut:
Apakah kontennya
Menantang secara optimal (artinya tidak terlalu sulit atau terlalu mudah)?
Menarik (bisakah anak menghubungkan konten tersebut dengan kehidupannya)?
Interaktif, secara fisik atau sosial. Anak-anak yang masih muda bisa membangun hubungan dengan karakter di layar, yang meningkatkan pembelajaran mereka.
Peran orang tua dalam joint media engagement juga penting. Termasuk membantu anak memahami konten dan mengarahkan pembelajaran, juga ketika anak ingin bertanya. Cara terbaik dalam ikut serta screen time bersama anak adalah dengan membicarakannya. Ajukan pertanyaan dan buat kesempatan membawa konten di layar ke dunia nyata.
Contohnya, ketika anak bermain membangun balok di tablet, orang tua bisa berkata, “Sekarang ayo kita buat rumah balok yang nyata”.
Hal penting lainnya, contohkan sikap penggunaan gadget yang kamu harapkan anak kamu lakukan. Karena pada dasarnya anak lebih cepat mencontoh apa yang dilakukan oleh orang tua mereka.
Apa yang anak lakukan sama pentingnya, jika tidak lebih penting, dibandingkan berapa lama mereka melakukan screen time.