5 Tips Membesarkan Anak Optimis
Ada banyak alasan untuk menumbuhkan rasa optimism dalam diri anak kita, termasuk efek positif jangka panjang pada kesehatan mental dan fisik. (Apakah kamu tahu orang yang optimis punya kesempatan lebih besar untuk hidup lebih dari 100 tahun?) Namun, bagaimana cara membesarkan anak yang optimis? Kamu bisa melakukan 5 tips ini, untuk memulai, dan lihat hasil positif yang mempengaruhi rumah tangga kamu.
1. Berhenti Mengeluh
Pernah ngga ketika kita mengantar anak kita sekolah lalu terjebak macet? Kemudian kita mengeluh dengan kencang hingga terdengar oleh anak kita, “Kok ngga nyampe-nyampe sih?” atau “Duh, bisa telat nih.” Fokus pada pemikiran negatif dan rasa frustasi adalah contoh pesimisme klasik. Semakin kita mengeluh tentang masalah keuangan atau pekerjaan yang menumpuk di kantor, semakin anak kita belajar untuk melakukan hal yang sama. Lebih baik coba untuk menyuarakan hal-hal yang berjalan dengan mulus (“Aku berhasil menyelesaikan proyek besar di kantor,” atau “Tadi aku ketemu dengan pelayan yang sopan banget waktu makan siang”).
2. Buat Ekspektasi yang Tinggi
Anak-anak tidak akan mengembangkan sikap optimistis kecuali mereka diberikan kesempatan untuk membuktikannya. “Mempercayakan anak untuk menyelesaikan sebuah tugas membuat mereka merasa bisa,” kata Tamar Chansky, Ph.D., seorang psikolog anak dan penulis buku Freeing Your Child From Negative Thinking. Tentu saja tugas tersebut harus sesuai dengan umur anak, karena tujuan utamanya adalah agar anak dapat menyelesaikan tugas tersebut. Seorang anak berusia dua tahun bisa membereskan mainannya, anak berusia tiga tahun bisa menyimpan pakaian kotor ke keranjang, anak empat tahun bisa membawa piring kotor ke wastafel, anak berumur lima tahun bisa mengosongkan tempat sampah, dan anak enam tahun bisa menata pakaian yang sudah dicuci.
Baca juga : Berekspektasi Terlalu Tinggi pada Anak Balita
Sebagai contoh, kita bisa membuat daftar hal yang harus dilakukan sebelum sarapan, dan menempelkannya di tembok kamar anak kita. Ini akan mengingatkan anak kita untuk membereskan tempat tidur, gosok gigi, ganti baju, dan membereskan kamar mereka. Selain mengurangi beban orang tua, hal ini dapat memberikan rasa bangga pada anak ketika mereka berhasil menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan.
3. Dukung Pengambilan Resiko yang Masuk Akal
Kita semua kesulitan dalam menentukan seberapa besar kita harus melindungi anak, baik fisik maupun mental. Memalukan memang ketika jatuh di tempat bermain atau ikut klub renang ketika tidak tahu caranya untuk berenang, wajar jika kita sebagai orang tua ingin melindungi anak dari situasi seperti ini. Namun, melarang anak melakukan suatu aktivitas karena ia tidak seterampil teman-temannya bisa menurunkan rasa percaya diri – dan mendorong rasa pesimisme untuk tumbuh.
Baca juga : 10 Tips Menumbuhkan Rasa Percaya Diri Anak
Kita bisa mulai melepaskan kekangan, tekan penasihat orang tua Michael Thompson, Ph.D., penulis Homesick and Happy: How Time Away From Parents Can Help a Child Grow. Izinkan anak usia TK untuk bermain sendiri di halaman belakang atau ikut kunjungan lapangan dari sekolah tanpa kita damping. Seiring waktu, coba ambil resiko yang lebih besar, seperti memanjat dinding batu di sebuah lokasi outbound (tentu pastikan tali yang digunakan aman dan berada dalam pengawasan petugas) atau mengikuti camping. “Kamu tidak mau anakmu takut mencoba hal yang baru,” ujar Dr. Thompson. “Kamu mau ketika anakmu pulang ia bilang, ‘Mah, aku bisa!’ “
4. Tunggu Sebelum Bereaksi
Ketika ada yang mengejek anak kita, insting pertama kita adalah menelepon orang tua anak yang mengejek. Namun, kita bisa berhenti sejenak dan memberikan kesempatan untuk anak kita menyelesaikan masalahnya sendiri. Kita bisa mengajarkan anak kita cara bereaksi pada ejekan misalnya, dengan mengatakan “Itu bukan kata yang bagus untuk diucapkan ke seorang teman” jika ia diejek lagi. Ketika anak kita diejek dan kemudian mengatakan hal yang kita ajarkan, ia akan merasa berdaya.
Membatasi insting “mama beruang” membutuhkan kontrol diri yang sangat besar. Ketika anak kita mencoba menyuarakan kata baru atau membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikan sebuah puzzle, mudah bagi kita untuk ikut campur. Namun, membiarkan anak menyelesaikannya sendiri tanpa bantuan kita akan mendorong rasa pencapaian mereka dan juga membuat mereka lebih optimis akan apa yang mereka bisa lakukan di masa depan.
5. Rangkul Kesulitan Anak
Ketika seorang anak kesulitan menyelesaikan PR matematika, ia sering berkata, “Aku ngga bisa matematika!” Sayangnya, satu rintangan bisa jadi cukup bagi anak memiliki rasa inferior secara permanen: “Aku tidak pintar.” “Aku ngga bisa main bola.” “Aku ngga bisa gambar.”
Untuk mencegah konklusi seperti itu, coba ubah perspektif anak kita, ujar Andrew Shatte, Ph.D., yang membuat program untuk menolong anak menghadapi tantangan. Untuk membingkai ulang pemikirannya agar lebih positif, kita bisa berkata, “Mempelajari olah raga baru memang sulit pada awalnya,” atau “Aku tahu kamu belum bisa mengenal waktu, tapi aku yakin nanti kamu bisa.” Dan beri tahu kalau dia tidak sendirian (“Banyak teman-teman sekelasmu juga kesulitan mengerjakan PR matematika,” atau “Dulu aku juga kesulitan belajar perkalian”). Bantu anak kita tetap memiliki harapan dengan menyebut kemampuan lain yang ia kuasai: “Ingat ketika kamu belum bisa baca dan bagaimana kamu belajar untuk baca? Kamu juga akan bisa sekarang.